Mengenai Saya

Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia
Nama lengkap: Abdul Hofir, lahir di Lebaksiu, Tegal, pada hari Jumat tanggal 27 Juli 1979. Jika mengikuti kebiasaan orang Arab, nama lengkap saya menjadi Abdul Hofir bin Ubaedi bin Mas'an bin Rukyat. Nama Ibu: Fatimah binti Sujudi. Mengenai tempat lahir saya, orang Tegal mengenalnya sebagai produsen martabak baik martabak telor maupun martabak manis (terang bulan). Hampir daerah-daerah di Indonesia sudah terjamah oleh perantau asal Lebaksiu sekadar untuk mengais rejeki berdagang martabak. Saya saat ini telah berkeluarga dengan satu isteri dan tiga orang anak. Mereka yang sangat saya cintai: Dewi Pudji Rahayu, S.E., M.Si. (isteri), Ibadurrahman Sya'bani Maulana (anak pertama), Syaiful Islam Zuhdi (anak kedua), dan Zakia Aflahunnisa (anak ketiga). Riwayat pendidikan: SD Negeri Lebaksiu Lor I (lulus tahun 1991), SMP Negeri Lebaksiu I (lulus tahun 1994), SMU Negeri 1 Slawi (lulus tahun 1997), DIII Perpajakan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus tahun 2000), S1 Akuntansi FE UNS (2002-2004). Saat ini saya bekerja di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan sebagai Pemeriksa Pajak Pertama Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Jakarta Pusat.

Kamis, 07 Mei 2009

Lokakarya Perpajakan

Solo (7/5): Persatuan Para Pensiunan Pegawai Pajak (P5) Cabang Semarang menyelenggarakan lokakarya perpajakan dengan tema "Stimulus di Bidang Perpajakan & Pemeriksaan, Keberatan, dan Banding" bertempat di Hotel Sahid Kusuma mulai pukul 08.00 s.d. 16.00 WIB. Ada 2 pemateri utama yaitu Sujoso, S.H. yang membawakan materi tentang Stimulus di Bidang Perpajakan dan M. Abdul Sjuchur, S.H., M.M. yang membawakan materi tentang Pemeriksaan Pajak, Keberatan, dan Banding. Bertindak selaku keynote speaker yaitu Drs. Surjotamtomo Soedirdjo, M.A., Kepala Kanwil DJP Jawa Tengah II.
Dalam sambutannya, Surjotamtomo menyampaikan bahwa dalam era modernisasi, Direktorat Jenderal Pajak berupaya agar senantiasa bekerja dengan profesional, melayani Wajib Pajak dengan baik, serta bersama-sama antara Pemerintah dan DPR membuat regulasi yang bersifat mutual (saling menguntungkan) sehingga tercipta harmonisasi dan kerja sama yang baik antara Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak. Stimulus pajak berupa PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2009 sebagaimana diubah dengan PER-26/PJ/2009 diberikan semata-mata sebagai wujud kepedulian Pemerintah mereaksi adanya krisis global sehingga tidak memberikan dampak langsung bagi perekonomian/penghasilan karyawan.
Banyak hal yang disampaikan oleh para pembicara dan mendapatkan respon yang cukup baik dari peserta. Hal ini nampak dari banyaknya pertanyaan seputar materi yang disajikan dan oleh pembicara pertanyaan tersebut dijawab dengan sangat gamblang dan memuaskan. Sejauh yang penulis ketahui, ada beberapa hal yang nampaknya perlu diluruskan terutama sehubungan dengan adanya peraturan baru di bidang perpajakan baik Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) maupun Pajak Penghasilan (PPh). Di antaranya adalah dihapuskannya istilah Peninjauan Kembali sebagai upaya Wajib Pajak terhadap ketidaksetujuan atas penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP). Istilah Peninjauan Kembali saat ini lebih diperjelas dengan 3 upaya hukum Wajib Pajak yaitu: (1) Pembetulan Ketetapan Pajak, (2) Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, dan (3) Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang Tidak Benar. Penggunaan istilah Peninjauan Kembali hanya digunakan untuk peradilan di Mahkamah Agung sehingga tidak relevan digunakan dalam upaya hukum di Direktorat Jenderal Pajak.
Hal lainnya yang patut untuk didiskusikan kembali adalah tentang saat kapan Wajib Pajak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sebagaimana diketahui, dalam praktek, Wajib Pajak akan dikukuhkan sebagai PKP bilamana Wajib Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BPK) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) dan penghasilannya telah melebihi batasan Pengusaha Kecil PPN (di atas Rp 600 juta). Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, Wajib Pajak belum dapat dikukuhkan sebagai PKP, kecuali apabila yang bersangkutan memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Sementara berdasarkan ketentuan dalam UU PPN 1984, Pengusaha Kecil PPN adalah Pengusaha yang dalam satu tahun pajak mempunyai peredaran usaha tidak lebih dari Rp 600 juta. Dengan demikian, penentuan bahwa Pengusaha tergolong Pengusaha Kecil harus dibuktikan dengan laporan keuangan selama satu tahun. Mengenai hal ini, pembaca dapat membaca artikel saya pada bagian Arsip blog ini.
Acara yang diikuti oleh 86 peserta ini ditutup tepat pukul 16.00 oleh H. Soenarto BS selaku pembicara sekaligus panitia.